Rabu, 08 Mei 2013


Prinsip Analisis Gravimetri

         Analisis kuantitatif selalu memfokuskan pada jumlah atau kuantitas dari sebuah sampel, pengukuran sampel dapat dilakukan dengan menghitung berat zat, menghitung volume atau menghitung konsentrasi. Gravimetri merupakan penetapan kuantitas atau jumlah sampel melalui penghitungan berat zat. Sehingga dalam gravimetri produk harus selalu dalam bentuk padatan (solid).

        Alat utama dalam gravimetri adalah timbangan dengan tingkat ketelitian yang baik. Umumnya reaksi kimia tidak dalam ukuran besar seperti kilogram, namun dalam satuan yang lebih kecil seperti gram dan mili gram. Timbangan yang dipergunakan memiliki ketelitian yang tinggi atau kepekaan yang tinggi dan disebut dengan neraca analitik atau analytical balance.
      Prinsip analisis gravimetri adalah melarutkan sampel dengan aquades,setelah sampelnya dilarutkan sampai terbentuk analit, analitnya kemudian di endapkan kemudian dilakukan penimbangan. Biasanya analit berasal dari garam-garam yang sukar larut yang diendapkan sehingga sebagian besar garam analitnya terendapkan, itupun tidak semua analit yang mengendap, masih ada ion-ion lain yang sukar terendapkan.
Syarat analisis gravimetri cara pengendapan memberikan hasil yang baik diantaranya :
1. Zat yang akan diendapkan harus dapat diendapkan dengan sempurna dan endapan harus stabil dan sukar    larut.
2. Endapan harus murni dan mudah disaring.
3. Endapan harus dapat diubah menjadi suatu senyawa dengan susunan kimia tertentu sehingga dapat dihitung secara stoikiometri.

Istilah-Istilah Gravimetri

Postpresipitasi (Pasca Presipitasi)
Pascapresipitasi (postpresipitasi) adalah pengendapan yang terjadi di atas permukaan endapan pertama sesudah ia terbentuk. Ini terjadi pada zat-zat yang sedikit larut, yang membentuk larutan lewat-jenuh, zat-zat ini umumnya mempunyai satu ion yang sama dengan salah satu ion endapan primer (endapan pertama).
Postpresipitasi itu sendiri adalah pengendapan yang terjadi pada permukaan endapan pertama. Hal ini terjadi pada zat yang sedikit larut kemudian membentuk larutanyang lewat jenuh. Semakin lama dibiarkan, kontaminasi akan semakin bertambah, berlawanan dengan kopresipitasi.

Pascapresipitasi berbeda dari kopresipitasi dalam segi:
1. Kontiminasi bertambah dengan bertambah lamanya endapan dibiarkan bersentuhan dengan cairan induk pada pascapresipitasi, tetapi biasanya berkurang pada kopresipitasi.
2. Pada pascapresipitasi, kontaminasi akan bertambah dengan semakin  cepatnya larutan diaduk, baik dengan cara-cara mekanis ataupun termal. Pada kopresipitasi keadaannya umumnya adalah kebalikannya.
3.  Banyaknya kontaminasi pada pascapresipitasi dapat jauh lebih besar dari pada kopresipitasi.

Peptisasi
         Peptisasi adalah proses dispersi endapan  menjadi sistem koloid dengan penambahan zat pemecah. Zat pemecah dapat berupa elektrolit khususnya yang mengandung ion sejenis ataupun pelarut tertentu. Simak contohnya berikut ini.
Jika ke dalam endapan Fe(OH)3 ditambahkan elektrolit FeCl3 (ion sejenis Fe3+), maka Fe (OH) akan mengadsorpsi ion -ion Fe3+ tersebut. akibatnya, endapan menjadi bermuatan positif dan memisahkan diri untuk membentuk partikel-partikel koloid.
Koprepisipitasi
Metode kopresipitasi merupakan salah satu metode sintesis senyawa anorganik yang didasarkan pada pengendapan lebih dari satu substansi secara bersama–sama ketika melewati titik jenuh. Kopresipitasi merupakan metode yang menjanjikan karena prosesnya menggunakan suhu rendah dan mudah untuk mengontrol ukuran partikel sehingga waktu yang dibutuhkan relatif lebih singkat. Beberapa zat yang paling umum digunakan sebagai zat pengendap dalam kopresipitasi adalah hidroksida, karbonat, sulfat dan oksalat.
Produk dari metode ini diharapkan memiliki ukuran partikel yang lebih kecil dan lebih homogen daripada metode solid state dan ukuran partikel yang lebih besar dari pada metode sol-gel.
Kopresipitasi merupakan kontaminasi endapan oleh zat lain yang larut dalam pelarut. Hal ini berhubungan dengan adsorpsi pada permukaan partikel dan terperangkapnya (oklusi) zat asing selama proses pertumbuhan kristal dari partikel primernya. Kontaminasinya bertambah akibat pengadukan larutan. Kemungkinan bertambahnya kontaminasi cukup kecil dibanding pada postpresipitasi.

Presipitasi Ganda
       Represipitasi atau presipitasi ganda. Endapan yang sudah disaring dilarutkan kembali untuk kemudian diendapkan kembali. Cara ini efektif mengatasi kopresipitasi pada pengendapan oksida hidrous besi(III) dan alumunium yang terkontaminasi dengan kation logam berat spt Zn Cd dan Mn.
Digestion
Pencernaan : pemanasan larutan ± 1 jam setelah pembentukan endapan. Hal ini membantu untuk menghilangkan air yang terikat pada endapan.


Senin, 06 Mei 2013

Prinsip Logika Matematis

Terdapat empat prinsip logika yang perlu mendapatkan perhatian terutama untuk membahas sifat-sifat di dalam teori bilangan. Dua prinsip pertama berkaitan dengan kuantor dan dua prinsip yang lain berkaitan dengan implikasi.

(a) Pernyataan Berkuantor
Pernyataan “Setiap x memenuhi y” tidak dapat dibuktikan dengan memberikan contoh-contoh x yang memenuhi y. sebagai peragaan, pernyataan setiap bilangan prima adalah bilangan ganjil tidak dibuktikan dengan memberikan contoh atau kasus sebanyak-banyaknya.
11 adalah bilangan prima dan 11 adalah bilangan ganjil
13 adalah bilangan prima dan 13 adalah bilangan ganjil
17 adalah bilangan prima dan 17 adalah bilangan ganjil
7 adalah bilangan prima dan 7 adalah bilangan ganjil
23 adalah bilangan prima dan 23 adalah bilangan ganjil
19 adalah bilangan prima dan 19 adalah bilangan ganjil
5 adalah bilangan prima dan 5 adalah bilangan ganjil
31 adalah bilangan prima dan 31 adalah bilangan ganjil
Dengan delapan contoh di atas apakah sudah ada jaminan bahwa setiap bilangan prima adalah bilangan ganjil? Bagaimanakah jika contoh-contohnya ditambah dengan 37, 41, dan 53? Ternyata tidak setiap bilangan prima adalah bilangan ganjil karena 2 adalah bilangan prima dan 2 adalah bilangan tidak ganjil (bilangan genap).
Tidak berlakunya pernyataan “Setiap x memenuhi y” dapat ditunjukkan dengan memberikan satu contoh x yang tidak memenuhi sifat y. Contoh semacam ini disebut dengan contoh kontra (counter example). Sebagai peragaan yang lain, tidak berlakunya sifat setiap bilangan bulat yang tidak positif adalah bilangan bulat negatif dapat ditunjukkan dengan memberikan suatu contoh yaitu bilangan 0 (nol) adalah bilangan bulat yang tidak positif tetapi bukan bilangan negatif.
Pernyataan “Tidak setiap x memenuhi sifat y” dapat dibuktikan dengan memberikan satu contoh x yang tidak memenuhi sifat y. Sebagai peragaan, pernyataan tidak semua bilangan asli n habis dibagi oleh 3 dapat ditunjukkan kebenarannya dengan memberikan suatu contoh yaitu bilangan asli 5 ( atau yang lain) yang tidak habis dibagi oleh 3.

(b) Bukti Langsung
Pembuktian secara langsung dilakukan berdasarkan pernyataan p yang diketahui, p diproses dengan sifat-sifat yang telah berlaku, akhirnya diperoleh pernyataan q. Pernyataan “Jika p maka q” dapat dibuktikan dengan mendasarkan pada pernyataan p yang diketahui kemudian diarahkan untuk memperoleh pernyataan P1, P2, P3, …, Pn.dan akhirnya diperoleh q.
p → P1 →P2 → P3 → …→ Pn→ q                                            
Prinsip modus ponens dan prinsip silogisme memberikan dasar konstruksi pembuktian langsung. Prinsip modus ponens adalah sebagai berikut.
p → q
p
¾¾¾¾
Jadi q.

Prinsip silogisme adalah sebagai berikut.
p q
q r
¾¾¾¾
Jadi p r
Pernyataan “Kuadrat dari bilangan ganjil adalah bilangan ganjil” dapat dibuktikan secara langsung.  Dalam suatu dalil, pernyataan jika ac membagi bc, maka a membagi b bersesuaian dengan diketahui ac membagi bc, harus dibuktikan a membagi b. Jadi, berangkat dari ac membagi bc sebagai hal yang diketahui, kemudian diproses dengan definisi, dalil, dan aksioma yang sesuai dan sudah diketahui, sehingga akhirnya terbukti a membagi b.

(c) Bukti Tak langsung
Pembuktian tak langsung dapat dilakukan dengan prinsip kontraposisi ataupun kontradiksi.
►Pembuktian dengan prinsip kontraposisi
Dasar pembuktian tersebut adalah prinsip modus tollens berikut.
p ® q
~q
¾¾-¾¾
Jadi ~p
Dalam pembuktian yang dilakukan dengan prinsip kontraposisi, untuk membuktikan p®q, mula-mula dianggap bahwa q tidak benar, dan ternyata menghasilkan ~ p. Hal ini berarti jika p benar maka q benar.
Pernyataan ” Misalkan a bilangan real, dan a ³ 0 . Jika untuk setiap e > 0 berlaku 0 £ a <e maka a = 0 ” dapat dibuktikan secara tak langsung.
Bukti:
Andaikan 0 £ a< e dan a ¹ 0. Dari a³ 0 dan a ¹ 0 diperoleh a > 0 . Karena e sebarang bilangan positif, ambil e =  > 0, maka e < a atau a > e. Hal ini bertentangan dengan pengandaian. Jadi yang benar, 0 £ a <e dan a = 0 .

►Pembuktian Dengan Kontradiksi
Untuk membuktikan bahwa ” p ® q” benar, ditunjukkan bahwa ”p dan ~q” mengakibatkan sesuatu pertentangan. Prinsip kontradiksi dalam pembuktian tak langsung adalah sebagai berikut.
[~ p ® (q Ù ~q)] ® p
Pembuktian tak langsung ini berangkat dari suatu anggapan benar. Kemudian anggapan benar ini dijalankan dengan hal-hal yang diketahui atau sifat yang telah tersedia, ternyata menghasilkan sesuatu yang bertentangan (kontradiksi) atau sesuatu yang mustahil, yang berarti bahwa anggapan yang diambil semula adalah tidak benar (salah).
Pernyataan ”Jika a bilangan real dan a > 0 maka  > 0 ” dapat dibuktikan dengan kontradiksi.



Bukti :
Diketahui a bilangan real dan a > 0 . Andaikan  £ 0. Selanjutnya digunakan prinsip bahwa hasil kali bilangan positif dan bilangan negatif adalah negatif, sebagai berikut.
Untuk  < 0 berarti a ×  < 0 Û 1 < 0 dan untuk  = 0 berarti a ×  =0 Û 1= 0 sehingga untuk  £ 0 berakibat 1 £ 0 . Hal ini kontradiksi dengan sifat bilangan 1 bahwa 1 > 0 .
Jadi yang benar, a > 0 maka  > 0 .



LAPORAN PRAKTIKUM
JUDUL PECOBAAN : ALAT UKUR DASAR4
TANGGAL PERCOBAAN : 10 MARET 2012
TUJUAN PERCOBAAN:  Mempelajari cara menggunakan jangka sorong.


 TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Ganijanti (2006: 3) “ mengukur merupakan suatu kegiatan  untuk membandingkan suatu besaran  satu dengan besaran yang lain. Meskipun demikian, kesalahan dalam mengukur atau kesalahan dalam pembacaan angka ukur tetap kerap terjadi dalam proses pengukuran”.
Menurut Hikam (2005:15) “suatu pengukuran yang sangat akurat bergantung pada metode pengukuran dengan alat ukur. Hasil pengamatan yang baik akan berarti/bermanfaat  jika pengolahan di kerjakan secara tepat, oleh karena itu harus ada pengetahuan yang lengkap tentang presisi pengukuran, cara analisi, teori alat dan statistic. Jangka sorong dapat di gunakan untuk menentukan dimensi dalam, luar, dan kedalaman. Akurasi  pengukuran hingga 1/20 mm”.
Menurut Daryanto (2000:15) “dalam menentukan hasil pengukuran sangat di perlukan suatu keterampilan dalam membaca mistar terutama mistar ingsut. Hal-hal yang harus di perhatikan dalam pembacaan mistar ingsut anatara lain adalah: setelah mengukur suatu benda, maka lihatlah kedudukan strip nol pada rangka mulut geser mistar ingsut tersebut, misalnya  satu mistar ingsut menunjukkan strip ke-21 pada rangka. Hal tersebut berarti hasil pengukurannya adalah 21 mm. hal kedua yang harus di perhatikan, apabila strip nonius yang paling lurus dengan strip-strip pada rangka adalah strip ke-3 ini artinya hasil pengukuran tersebut adalah 0,3 mm. untuk ketelitian 0,1 mm, maka hasil pengukuran mistar ingsut tersebut adalah 21,3 mm. Supaya dalam pembacaan hasil pengukuran yang menggunakan alat ukur mistar ingsut bias kit abaca secara tepat dan benar. Maka, terlebih dahulu kita harus menentukan tingkat ketelitian mistar  ingsut tersebut. Dalam menentukan tingkat ketelitian mistar ingsut tersebut. Dalam menetukan tingkat ketelitian mistar ingsut ada hal-hal yang harus kita perhatikan yaitu kita harus lihat panjangnya angka pada nonius mistar ingsut, misalnya 19 mm. kemudian kita juga harus menghitung banyaj strip yang ada pada nonius terlebih dahulu, misalnya 20 strip. Setelah itu, kita juga harus menentukan jarak strip nonius yaitu 19 mm atau 20 mm, dan yang terakhir, kita harus menentukan selisih strip pada rangka dan strip pada nonius  besarnya  selisih kedua strip kedua strip tersebut adalah seperduapuluh, itu sama artinya dengan 0,05 mm “.

HASIL PENGAMATAN
TABEL A
No
Lebar Dasar Statif
Diameter Lubang
Kedalaman Lubang
Diameter Batang
Percobaan
(L) (cm)
(D) (cm)
(L) (cm)
(D) (cm)
1
3,94
1,04
3,2
1,01
2
3,935
1,05
3,12
1,0
3
3,935
1,05
3,13
1,01
4
3,93
0,93
3,17
1,0
5
3,93
1,045
3,14
1,0
Rata-rata (Lrt,Drt)
3,93
1,02
3,15
1,004

TABEL B

No
Lebar Dasar Statif
Diameter Lubang
Kedalaman Lubang
Diameter Batang
Percobaan
(L) (cm)
(D) (cm)
(L) (cm)
(D) (cm)
1
0,01
0,02
0,05
0,006
2
0,005
0,03
0,03
0,004
3
0,005
0,03
0,02
0,006
4
0
0,09
0,02
0,004
5
0
0,025
0,01
0,004
Rata-rata (ΔLrt, ΔDrt)
0,004
0,039
0,026
0,0048

TABEL C

Lebar Dasar Statif (Lhsl) (cm)
Diameter Lubang (Dhsl) (cm)
Kedalaman Lubang (Lhsl) (cm)
Diameter Batang (Dhsl) (cm)
3,94±0,004
1,04±0,039
3,2±0,026
1,01±0,0048

KETERANGAN :
            L      =  Lebar
            D     =  Diameter
            Lrt    = Rata-rata Lebar
            Drt   = Rata-rata Diameter
            Lhsl  = Lebar Hasil
            Dhsl = Diameter Hasil
            ΔL    =  Kesalhan / penyimpangan pengukuran lebar
            ΔD   = Kesalahan / penyimpangan pengukuran diameter
            ΔLrt = Rata-rata kesalahan/ penyimpangan pengukuran lebar
            ΔDrt = Rata-rata kesalahan/ penyimpangan pengukuran Diameter



TABEL A
·         Lebar dasar statif (L)

1. L1 = skala utama + skala nonius
         = 3,9 cm + 0,4 mm
         = 3,9 cm + 0,04 cm
         = 3,94 cm

2. L2 = 3,9 cm + 0,35 mm
         = 3,9 cm + 0,035 cm
         = 3,935 cm

3. L3 = 3,9 cm +0,35 mm
         = 3,9 cm + 0,035 cm
         =  3,935 cm

4. L4 = 3,9 cm +0,3 mm
         = 3,9 cm + 0,03 cm
         = 3,93 cm

5. L5 = 3,9 cm +0,3 mm
         = 3,9 cm + 0,03 cm
         = 3,93 cm


* Lrt =  
         =
         
         = 3,93 cm


·         Diameter lubang (D)

1. D1 = skala utama + skala nonius
         = 0,98cm + 0,6 mm
         = 0,98 cm + 0,06 cm
         = 1,04 cm



2. D2 = 0,98cm + 0,7 mm
          = 0,98 cm + 0,07 cm
          = 1,05 cm

3. D3 = 0,98cm + 0,7 mm
          = 0,98 cm + 0,07 cm
          = 1,05 cm

4. D4 =0,9 cm +0,3 mm
         = 0,9 cm + 0,03 cm
         = 0,93 cm

5. D5 = 0,98cm +0,65mm
         = 0,98cm + 0,65 cm
         = 1,045 cm

* Drt =  
         =
         
         = 1,02 cm



·         Kedalaman lubang (L)



1. L1 = skala utama + skala nonius
         = 3,15 cm + 0,5 mm
         = 3,15 cm + 0,05 cm
         = 3,2 cm

2. L2 = 3,1 cm + 0,2 mm
         = 3,1 cm + 0,02 cm
         = 3,12 cm

3. L3 = 3,1 cm +0,3 mm
         = 3,1 cm + 0,03 cm
         =  3,13 cm



4. L4 = 3,15 cm +0,2 mm
         = 3,15 cm + 0,02 cm
         = 3,17 cm

5. L5 = 3,1 cm +0,4 mm
         = 3,1 cm + 0,04 cm
         = 3,14 cm


* Lrt =  
         =
         
         = 3,15 cm



·         Diameter batang (D)

1. D1 = skala utama + skala nonius
         = 1 cm + 0,1 mm
         = 1 cm + 0,01 cm
         = 1,01 cm

2. D2 = 1 cm + 0 mm
          = 1 cm + 0 cm
          = 1 cm

3. D3 = 1 cm + 0,1 mm
          = 1 cm + 0,01 cm
          = 1,01 cm

4. D4 = 1 cm + 0 mm
          = 1 cm + 0 cm
          = 1 cm

5. D5 = 1 cm + 0,1 mm
          = 1 cm + 0,01 cm
          = 1,01 cm



* Drt =  
         =
         
         = 1,004 cm



TABEL B


·         Lebar dasar statif (ΔL)

1. ΔL1 = Lrt - L1
            = 3,93 -3,94 (cm)
            = - 0,01 cm

2. ΔL2 = Lrt – L2
            = 3,93 – 3,935 (cm)
            = - 0,005 cm

3. ΔL3 = Lrt – L3
            = 3,93 -3,935 (cm)
            = - 0,005 cm

4. ΔL4 = Lrt – L4
            = 3,93 -3,93 (cm)
            =  0 cm

5. ΔL5 = Lrt – L5
            = 3,93 -3,93 (cm)
            = 0 cm

*Δ Lrt =  
             =    
             = 0,004 cm







·         Diameter lubang (ΔD)

1. ΔD1 = Drt - D1
             = 1,02 -1,04 (cm)
             = - 0,02 cm

2. ΔD2 = Drt – D2
             = 1,02 – 1,05 (cm)
             = - 0,03 cm

3. ΔD3 =DLrt – D3
             = 1,02 -1,05 (cm)
             = - 0,03 cm

4. ΔD4 = Drt –DL4
             = 1,02 -0,93 (cm)
             =  0,09 cm

5. ΔD5 = Drt – D5
             = 1,02 -1,045 (cm)
             = - 0,025 cm

*Δ Drt =  
             =    
             = 0,039 cm


·         Kedalaman lubang (ΔL)

1. ΔL1 = Lrt - L1
            = 3,15 -3,2 (cm)
            = - 0,05 cm

2. ΔL2 = Lrt – L2
            = 3,15 – 3,12 (cm)
            = 0,03 cm

3. ΔL3 = Lrt – L3
            = 3,15 -3,13 (cm)
            = 0,02 cm


4. ΔL4 = Lrt – L4
            = 3,15 -3,17 (cm)
            =  -0,02 cm

5. ΔL5 = Lrt – L5
            = 3,15 -3,14 (cm)
            = 0,01 cm

*Δ Lrt =  
             =    
             = 0,026 cm



·         Diameter Batang (ΔD)

1. ΔD1 = Drt - D1
             = 1,004 - 1,01 (cm)
             = - 0,006 cm

2. ΔD2 = Drt – D2
             = 1,004 – 1,0 (cm)
             =  0,004 cm

3. ΔD3 =DLrt – D3
             = 1,004 - 1,01 (cm)
             = - 0,006 cm

4. ΔD4 = Drt –DL4
             = 1,004 – 1,0 (cm)
             =  0,004 cm

5. ΔD5 = Drt – D5
             = 1,004 – 1,0 (cm)
             =  0,004 cm  







*Δ Drt =  
             =    
             = 0,0048 cm



TABEL C


·         Lebar dasar statif

Lhsl  = L ± ΔLrt
         = 3,94 ± 0,004 (cm)


·         Diameter lubang

Dhsl  = D ± ΔDrt
          = 1,04 ± 0,039 (cm)


·         Kedalaman lubang 

Lhsl  = L ± ΔLrt
         = 3,2 ± 0,026 (cm)


·         Diameter batang 

Dhsl  = D ± ΔDrt
          = 1,01 ± 0,0048 (cm)




Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah kita lakukan, dapat di simpulkan bahwa :

1. Jangka sorong adalah alat ukur yang di gunakan untuk mengukur kedalaman dan 
    diameter luar benda.


2. Alat ukur jangka sorong mempunyai ketelitian 0,05 cm

3. Dalam melkukn pengukuran, sangat di butuhkan ketelitian dalam bertindak dan 
    kejelian dalam melihat angka pengukuran.

4. Keahlian dan kemampuan dalam menggunakan alat ukur ketika melakukan proses
    pengukuran juga sangat di perlukan.


5. Berdasar kan hasil praktikum yang telah di kerjakan, seharus nya rata-rata yang di
    dapatkan tidak nol (0), hal ini terjadi di karenakan kurang nya ketelitian dalam 
    mengukur.